Senin, 30 November 2015

MUTIARA YANG RETAK

Jakarta siang ini amatlah panas.Sang bagaskara membakar kulit dengan ganasnya. Selepas mengikuti workshop aku menuju ke parkiran untuk mengambil motor yang dari pagi setia menunggu. Kutelusuri sepanjang Ngurah Rai yang aspalnya tak beraturan karena masih dalam perbaikan. Konsentrasi yang tinggi diperlukan untuk menaklukkan jalan yang bergelombang. Sesampai di pertigaan AURI, lampu merah memaksaku menarik tuas rem sepeda motorku. Dalam bisingnya kota Jakarta, angkot - angkot reyot berseliweran, metromini yang penuh dengan penumpang. Ada yang berdiri, ada yang duduk, ada pula yang terhimpit oleh penumpang lain. Terlihat mereka menahan nafas sampai wajahnya terlihat merah terbakar. Melintas di depanku seorang anak kecil dengan baju yang lusuh, mencoba coba mengais rejeki dengan menjadi peminta-minta. Kulitnya yang menghitam terbakar matahari, matanya yang luyu terkena debu jalanan, semakin menambah dekilnya anak itu. Tangannya diulurkan kepadaku. Kuberikan dua keping uang logam limaratusan dan satu kue sisa workshop tadi yang kutaruh di bagasi motorku. Dengan gemetar diterimanya uang dan kue itu kemudian menatapku lama. Suaranya serak parau saat dia mengucapkan kata terima kasih seraya melangkahkan kaki menuju ke pinggir jalanan. Dalam benaknya dia ingin mengucap syukur atas pemberian itu. Ingin sekali ia menyantap kue itu dengan rakusnya. Betapa tidak, karena dari tadi perutnya belum kemasukan makanan sedikitpun. Terbayang adiknya di rumah yang baru belajar berjalan. Kue yang didapat tadi urung dimakannya, dan tiba-tiba ia pingsan di trotoar yang panas. Akupun menuntun motor ke pinggir, kustandar dan mencoba menolong anak jalanan tadi. “Dik, bangun Dik, ini jalanan,” ucapku lirih. Dalam siuman pingsannya dia menggeliat, dan kubantu untuk menopang badannya yang kotor berbau. “Pak, Bapak siapa ? Mengapa Bapak tak jijik memegangku ?” suaranya lirih sambil merintih. “Dik, aku yang memberimu kue tadi. Ayo makanlah kuenya ! Kamu lapar kan ?” pintaku. “Biasanya orang di jalan tak peduli padaku Pak. Terima kasih pak, aku memang belum makan, tapi kue ini akan kuberikan pada adikku. Dia pasti senang, dan menciumi pipiku, kemudian merayu ingin ikut aku meminta-minta seperti ini,”jawabnya polos. Berkaca-kaca juga mataku mendengar kepolosan anak itu. Dan kutawarkan untuk mengantarnya ke rumah. “Adik tinggal di mana ?” tanyaku. “Penggilingan Pak,”jawabnya singkat. “Ayo kuantarkan ke rumah. Kamu sakit, biar orang tuamu membawa ke dokter,” kucoba untuk menawarkan jasa. “Terima kasih, Pak. Saya jalan kaki saja,” jawabnya. “Ayolah, katanya ingin memberikan kue itu untuk adikmu. Dia sudah menunggu,” kataku merayu. Begitu disebut adiknya, dia bergegas dan ingin segera sampai di rumah. Kuantarkan dia sampai di rumahnya. Kondisi rumah yang sangat memprihatinkan. Ukurannya sangat mini, kalau tidak dibilang sebesar gubug di sawah. Terlihat dari dalam rumah mungil itu seorang anak kecil baru belajar berjalan ke luar rumah menyambut sang kakak. Kuperhatikan dari depan rumah si kecil adiknya dengan berjalan sesekali jatuh menghampirinya. Sang kakak memberikan sepotong kue yang kuberikan di pertigaan tadi. Sang adik dengan lahapnya memakan kue pemberiannya. Sambil meneteskan air mata, sang kakak pun puas karena adiknya tak lagi kelaparan. Tinggal berjuang besok lagi menunggu kedermawanan orang-orang di jalan. Aku mendekati rumahnya, dan kuhampiri peminta-minta cilik tadi. “Adik tinggal sama siapa ?” tanyaku. “Sama mamah, dan adikku ini, Pak.”jawabnya sambil memeluk adiknya. “Bapakmu ke mana ?” tanyaku lagi. “Bapak sudah lama meninggal waktu adikku ini masih di perut mamah,” jawabnya memelas. “Mamahmu di mana ?” tanyaku mengejar. “Di dalam, Pak. Lagi duduk,” jawabnya polos. Sejenak kutermenung. Mengapa seorang ibu tega membiarkan anaknya mengemis, serta tidak memperhatikan pendidikannya. Orang tua yang egois, pikirku. Lamunanku tiba-tiba buyar ketika anak itu memanggilku. “Mari, Pak. Aku kenalkan sama mamah,”anak itu menggapai tanganku dan mengajakku masuk dalam rumahnya yang sangat berantakan. Aku dibuatnya kaget bagai tersambar petir, ketika melihat mama anak itu tak punya kedua kakinya. Aku merasa berdosa telah berpikiran negatif terhadapnya. “Ini mamamu?” tanyaku “Iya. Ini mamaku. Sudah lama gak bisa bekerja, Pak. Kedua kakinya dipotong di rumah sakit karena saat itu terlindas mobil di pertigaan AURI,”jawabnya menjelaskan. Terbayang olehku ganasnya rimba jalanan. Kuarahkan pandanganku ke wanita itu. Ia membalas dengan senyuman kebahagiaan. Kemudian katanya,”Maaf merepotkan Bapak.” Aku terdiam dan merogoh isi kantongku yang tinggal Rp 50000,- dan kuberikan pada wanita itu. Dia pun menolaknya, tetapi tetap kutinggalkan juga sambil berpamitan pulang kepada wanita dan anak-anak itu. Dalam perjalanan pulang pikiranku rusuh dengan bayangan tadi. Seorang anak yang masih kecil berjuang hidup menanggung beban keluarga. Indonesia yang kaya raya tetapi penduduknya miskin. Sungguh Indonesia adalah mutiara yang retak. Akankan mutiara itu akan gemerlap ? EKO PRASETYONO SMA NEGERI 36 JAKARTA