Selasa, 17 Oktober 2017

SOSOK WIDAYAT DAN MARSIDAH

Dinilai Sosok Inspiratif, Terharu Dapat Penghargaan Kethoprak merupakan salah satu kesenian Jogjakarta yang masih bertahan. Regenerasi pun terus berjalan hingga melahirkan ragam gaya pementasan baru. Meski begitu, bagi Marsidah kethoprak sudah menjadi bagian dari jiwanya. Apa pun bentuknya, jiwanya tetap menjunjung tinggi kesenian ini. DWI AGUS, Jogja SOSOKNYA tak lagi muda, untuk berjalan pun tidak selincah dulu. Namun semuanya ini seolah beru-bah ketika kakinya menginjakkan panggung. Penghayatannya dalam membaca naskah begitu mendalam. Apa pun perannya, pasti akan di-bawakan dengan penuh penjiwaan. Mendengar nama Marsidah da-lam dunia kethoprak tidaklah asing. Keaktifannya di dunia ket-hoprak sudah dia lakoni sejak 1965. Dirinya mengisahkan awal karirnya ini hanya iseng atau sekadar coba-coba. Di mana ia ikut pentas se-cara tidak sengaja pada medio tahun itu.“Menjajal untuk ikut pentas di HUT salah satu organisasi. Tapi saya merasakan ada yang berbeda karena ada semacam chemistry. Akhirnya saya tertarik untuk men-dalami dengan belajar kepada para seniman kethoprak,” kenang-nya kepada Radar Jogja. Dari awal pementasan inilah seakan jalan terang menghampi-rinya. Berbagai pementasan se-cara bergantian terus dilakoni oleh perempuan kelahiran Padang, 21 Mei 1942, ini. Alhasil penjiwaannya dalam dunia kethoprak terus te-rasah dari waktu ke waktu.Kethoprak pula lah yang mem-pertemukan Marsidah dengan pasangan hidupnya, Widayat. Dari pernikahan ini Marsidah dan Widayat dikaruniai dua anak pe-rempuan dan satu anak laki-laki. Widayat yang juga berprofesi di dunia kethoprak sangat mendukung istrinya ini.Tentunya ini adalah kolaborasi yang pas karena keduanya memi-liki jiwa seni Marsidah pun aktif dalam grup kethoprak Among Mitro. Di sini dirinya belajar lebih dalam ba-gaimana wujud kethoprak. Mu-lai dari karakter hingga teknik pementasan.“Kethoprak itu tidak hanya seni panggung, tapi lebih dari ini. Banyak nilai yang terkandung termasuk kearifan lokal. Ke-kayaan pemikiran termasuk tradisi Jawa menjadi landasan yang kuat. Sehingga penting bagi kita untuk aktif berkese-nian terutama kethoprak,” ka-tanya. Selama menggeluti kethoprak dirinya juga sempat menjadi karyawan RRI Nusantara II Jog-jakarta sebagai tenaga honorer. Di RRI Nusantara II inilah Mar-sidah bertemu penggawa ket-hoprak Sumardjono. Dari sosok ini Marsidah kembali menda-lami kesenian kethoprak.Jejak rekamnya pun terus me-ningkat hingga bertemu dengan seniman dan tokoh kethoprak Handung Kussudyarsana. Pria yang lebih dikenal dengan Rama Ndung itu bersama Marsidah membentuk sebuah paguyuban. Di bawah naungan Kodam IV/Diponegoro, keduanya mendi-rikan kelompok Sapta Mandala di tahun 1971. Kelompok ini menancapkan tajinya di Jogjakarta selama be-berapa dekade. Kelompok ini pulalah yang terus melambung-kan nama Marsidah dalam du-nia kethoprak di Jogjakarta. Medio 1980-an pun menjadi puncak dari jalan karir Marsidah untuk berkesenian.“Mengenang masa lalu tentu-nya adalah suatu hal yang me-nyenangkan. Hiburan zaman dulu banyak dihiasi dengan ket-hoprak. Berbeda dengan sekarang semakin banyak alternatif pili-han,” ungkapnya. Melihat dunia seni saat ini Marsidah sedikit mengernyitkan dahi. Perkembangan dunia iba-rat sebuah dilema. Alternatif pilihan hiburan menurutnya sangatlah bagus. Namun di sisi lain juga membuat dunia ket-hoprak seakan kembang kempis.Peralihan membuat para pe-nerusnya juga memilih untuk berpindah. Tidak hanya pelaku, para penikmatnya juga seakan mulai bergeser. Mencari hiburan yang lebih popular dan berva-riasi. Bahkan seakan me-malingkan muka dari kethoprak. “Saya itu trenyuh tapi optimis-tis karena pasti kethoprak itu tetap ada. Pernah ada masa ket-hoprak seperti mati suri. Tapi melihat saat ini saya kembali yakin bahwa kethoprak tetap memiliki tempat,” kata Marsidah. Pernyataan Marsidah ini ada benarnya. Saat ini kethoprak se-makin menggeliat dan terus ber-kembang. Tidak hanya bertahan dalam pakem asli, namun juga merambah garapan. Di mana unsur kebaruan sudah mera-suki penggarapan kethoprak.Bagi Marsidah ini adalah se-suatu yang wajar dan lumrah. Kethoprak sebagai kesenian tradisi pun harus mengikuti dinamika. Jika tidak, maka ket-hoprak akan semakin tertinggal dan tenggelam. Tentu saja tetap menampilkan keaslian dan pa-kem yang dipoles. Meski lahir dari dunia kethop-rak tradisi, Marsidah terbuka akan pemikiran baru. Beberapa kali dirinya terlihat menonton kethoprak yang dipentaskan generasi muda. Bahkan belum lama ini dirinya juga ikut dalam pentas kethoprak lakon Mabuk Kuwasa di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY). “Saya senang melihat dina-mika kethoprak saat ini. Unsur kebaruan seperti efek digital atau peremajaan naskah terus di-gali. Bahkan pelakunya saat ini mayoritas adalah anak muda. Tinggal bagaimana kita mampu mempertahankannya,” kata Mar-sidah. Atas pengabdian ini, Masridah pun mendapatkan penghargaan dari Dinas Kebudayaan DIJ. Pen-ghargaan diberikan atas konsis-tensinya dalam dunia kethoprak. Bahkan perannya dinilai sangat besar hingga mampu mengin-spirasi seniman kethoprak lain-nya. Tidak hanya itu, keaktifannya meski telah memasuki usia sepuh juga menjadi pertimbangan. Waktu yang harusnya dihabiskan untuk menikmati hidup, dia gunakan untuk terus mengawal seni. Bahkan anak sulungnya telah mewarisi bakat Marsidah. Anugerah yang didapatkan adalah kategori “Pelestari Seni dan Budaya”. Marsidah menga-ku terharu karena ternyata kiprah-nya dapat perhatian dari pe-merintah. Tapi ia mengaku jika tujuan awalnya berkecimpung di kethoprak bukan untuk alasan penghargaan.“Sudah menjadi panggilan jiwa bahwa hidup memang untuk berkesenian. Ini adalah kekay-aan bangsa yang wajib dijaga. Lalu tugas kita semua untuk melestarikan, termasuk kepada generasi penerus kita,” katanya. Penghargaan diberikan di Bang-sal Kepatihan Jogjakarta, 18 Desember 2014 lalu. Salah seo-rang juri, Prof Dr Suminto A Sayuti, menilai Marsidah adalah sosok inspiratif. Penghargaan ini bentuk kepedulian pemerin-tah agar keberadaannya selalu diperhatikan dan diakui. “Perannya memang sangat besar bukan hanya untuk dirinya sen-diri. Terpenting bagaimana bisa menginspirasi masyarakat dan para seniman khususnya. Marsidah dan seniman lainnya merupakan aset budaya yang perlu kita jaga,” katanya.(*/laz/ong)

5 komentar:

  1. Maaf sebelumnya saya dulu semasa SD 1972-1974 saya setiap malam kamis selalu mendengar siaran ketoprak RRI yogyakarta tentunya menyimak adekagan dialog saya jadi tertarik dengan tutur boso jawi melalui ketoprak hingga sekarang saya masih memutar ketoprak pak Widayat melalui youtobe

    BalasHapus
  2. Dulu sekitar tahun 1986 semasa saya SD saya sering mendengarkan kethoprak Saptamandala, dan saya sangat terkesan dengan suara Bpk Widayat dan Ibu Marsidah,,,,,,,

    BalasHapus
  3. Saya era 90 an penggemar berat ketoprak Sapta Mandala,BPK Widayat dan ibu marsidah suaranya bikin kagum

    BalasHapus
  4. Masa kecil hingga sekarang kethoprak tetap saya sukai. Kethoprak mengajarkan falsafah hidup yg tak tergantikan.

    BalasHapus
  5. Saya penggemar kethoprak saptamandala dr kecil lewat siaran radio bp.widayat dan ibu marsidah luar biasa tak tergantikan penjiwaan yg pas dgn karakter yg di lakoninya.smg sll sehat dan barokah.aamiin

    BalasHapus